cerpenSMAN7UARA

“Bukan Sebuah Wasiat”

cerpenSMAN7UARAMarni duduk bersila dengan santun, kepala tunduk dan tangan lihai memijat betis Mamak. Amat teliti mengolesi minyak di sekujur kaki agar mudah dalam memijat. Bentuk kaki Mamak sudah tak padat, kulitnya termakan usia. Marni harus memainkan penekanan dalam memijat. Mamak bisa merintih kesakitan kalau terlalu kuat.

Sementara Mamak hanya menikmati pijatan Marni sambil mulutnya tak berhenti berbicara. Menuai kata demi kata secara perlahan agar Marni mampu meresap setiap kata yang keluar dari bibir keriput Mamak.

“Beras sekarang mahal ya, Nduk. Dulu Mamak bisa beli beras dengan uang tiga ribu, dapat sekilo. Bisa untuk makan 2 hari. Kamu, almarhum Masmu, Bapak dan Mamak.”

Pandangan mamak jauh, seolah beribu pulau sudah terlewati. Padahal mamak hanya sedang menerawang mengingat-ingat masa lampau. Membedakan kehidupan terdahulu dengan saat Mamak tak lagi muda.

Marni ingin menjawab. Jelas berbeda kehidupan sebelumnya dengan sekarang. Dulu gaji juga tidak besar, harga barang pun demikian. Sekarang gaji sudah lumayan besar dari sebelumnya, begitu dengan harga barang, perlahan ikut membesar.

Marni lebih memilih melanjutkan pijitannya, enggan menjawab pernyataan Mamak. Marni paham betul, menyanggah perkataan orang tua hanya akan menyakiti perasaannya, dan itu jelas tidak baik dilakukan oleh seorang anak.

“Dulu … orang hanya memikirkan kebutuhan primer terpenuhi. Biarlah baju ndak bagus, ndak pakai emas, yang penting makan cukup. Syukur kalau bisa makan enak setiap hari. La wong kerja untuk makan, kalau nahan lapar untuk memenuhi kebutuhan tersier untuk apa. Betul kan, nduk?” Mamak melanjutkan celotehnya.

Marni menanggapi dengan mengeryitkan dahi. Heran, Mamak sudah usia 75 tahun dan hanya lulusan sekolah rakyat bisa tahu tentang istilah macam-macam kebutuhan manusia. Marni masih diam sambil mengangguk setiap celoteh Mamak. Enggan ingin bertanya, takut mamak tersinggung. Toh nanti mamak juga cerita dari mana tau istilah yang sedikit asing bagi seorang Mamak rumahan.

“Sekarang sudah beda, orang lebih mikir penampilan. Menahan diri untuk makan enak, ala kadar saja, demi beli baju. Untuk orang yang penghasilannya pas-pasan kadang mengikat kebutuhan primer supaya bisa beli baju bagus, emas, motor, mobil, yang terlihat oleh orang. Siapa yang tau baju kita mentereng di luar ternyata di rumah hanya makan nasi sama sayur kangkung. Bonus tahu tempe kalau ada.”

Lidah Marni semakin gatal, ingin sekali menjawab pernyataan Mamak. Tetap saja niatannya diurungkan kembali. Maksud Mamak sebenarnya hanya ingin mengatakan, kenapa kebanyakan orang terlihat banyak uang, tetapi sebenarnya hasil utang.

Ingin terlihat mewah, berlomba-lomba memperlihatkan apa yang dimiliki. Tak ada, harus menjadi ada.

Ocehan Mamak ini tak lain tak bukan hanya ingin menasihati putri semata wayangnya. Agar tak seperti kebanyakan orang. Hiduplah seadanya, apa yang dipunya. Nikmati dan syukuri. Memiliki ambisi itu perlu, tapi tak memaksa. Kira-kira begitulah hasil tanggkapan Marni tentang nasihat Mamak.

Mamak tidak secara langsung menasihati, tetapi lebih pada berkeluh kesah dengan apa yang dilihat. Begitulah gayanya. Apa lagi diusia tak lagi muda. Kalau dalam bahasa jawa namanya gerutu atau ngedumel dan itu hal biasa. Sebagai anak tak perlu menyanggah. Mamak hanya perlu pendengar baik saja. Bisa jadi esok sudah berbeda topik lagi gerutuan Mamak.

“Sekolah lah, nduk. Ambil jurusan ekonomi kalau bisa. Teruskan kepengennya Mamakmu iki. Dulu Mamak cuma bisa nemenin doro putri belajar sama gurunya. Kadang kalau beresin bukunya sambil dibaca sedikit-sedikit. Kok seru ya! Ilmu ekonomi itu. Langsung kepakek dalam keseharian.” Mamak menerawang, mengingat-ingat kejadian tempo dulu sewaktu masih bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Benar, dugaan Marni. Tidak perlu bertanya dari mana Mamak tahu macam-macam kebutuhan ekonomi. Pasti akan cerita sendiri.

***

Mamak tak pernah banyak bicara diusia mudanya. Sewaktu Marni lahir dan beranjak remaja pun masih hemat kata.

Mulai gentar bicara, selalu ingin cerita ketika usianya memasuki senja. Kisaran 65 tahun. Saat sudah tak bekerja, begitu pun suaminya. Kehidupan Marni dan keluarga bertumpu pada warung sembako kecil yang dibuka dari modal hasil bekerja bertahun-tahun Mamak dan suami. Mengabdi pada juragan sebagai asisten rumah tangga dan suaminya sebagai tukang kebun.

Entah mengapa Mamak begitu cinta ilmu ekonomi. Warungnya itu juga hasil mimpi yang sebenarnya ingin membuka usaha besar. Membuka peluang kerja untuk pengangguran. Menerapkan setrategi marketing dan manajemen ekonomi. Seperti orang-orang besar.

Bagi Mamak, kalaupun tidak bekerja di kantor. Minimal orang yang paham ilmu ekonomi akan mampu mengatur dapur sendiri. Memilah ide yang menghasilkan uang untuk bertahan hidup.

Itulah beberapa hal terkakhir yang Marni ingat saat menemani Mamak menghabiskan usia senjanya. Mimpinya sederhana, tetapi cukup menguras energi bagi kalangannya. Marni selalu setia setiap sore memijat kaki Mamak sambil mendengarkan setiap cuap yang keluar dari bibir Mamak.

Walaupun ada perbedaan pemikiran Mamak dengan Marni. Tak pernah sekali pun Marni mengungkapkan bahwa apa yang dikatakan Mamak tidak semua demikian adanya. Contohnya saja, pemikiran Mamak mengenai kenapa orang rela mengikat pinggang demi beli motor, atau bahkan rela kredit demi memiliki motor. Tak lain karena motor sudah seperti kebutuhan pokok. Akses untuk mencari nafkah. Dengan motor juga lebih banyak hal yang bisa dikerjakan. Misal setelah pulang bekerja dari swalayan bisa ngojek online. Menjadi jasa pengiriman barang bagi pedagang makanan online pun bisa. Banyak hal yang bisa dilakukan.

Marni senang. Pada akhirnya diusia senja Mamak tak lagi hemat bicara. Oleh karenya selalu setia menjadi perekam terbaik kata demi kata yang diluahkan Mamak.

Kejadian demi kejadian yang tak akan pernah terhapus termakan waktu. Kemana Marni melangkah tujuannya hanya satu. Mimpi Mamak bukan sekedar mimpi. Nasihat yang bukan merupakan wasiat dengan makna tersiratnya membenam pada diri Marni.

Saat ini Marni sedang duduk antri di sebuah gedung mewah. Tidak pernah terbayangkan bisa duduk sejajar dengan teman-teman yang berhasil menamatkan sekolah tinggi jurusan ekonomi.

Sejak pagi memasuki ruang senat sidang terbuka itu Marni terus saja mengulas senyum. Haru ingin menangis.

Pasalnya perjuangan Marni tidak mudah. Seoarang gadis desa dengan orang tua seorang asisten rumah tangga dan tukang kebun. Tentu berat perjuangannya. Apa lagi sewaktu Marni masih usia SMA, Mamak dan Bapaknya sudah tidak bekerja lagi. Warung kecil itulah penyelamat hidup Marni dan keluarga.

Semenjak Mamak aktif bercerita. Marni gentar mengembangkan usaha warung sembakonya. Rajin bertanya kepada yang sukses. Belajar mandiri melalu media internet.

Sampai pada akhirnya Marni menemukan strategi. Dimulai dari memasang spanduk, memberikan promo menarik, melakukan promosi dan yang terpenting memberikan pelayanan terbaik.

Semua dilakukan tidak semulus jalan tol. Sudah pasti kerikil kecil hadir, tetapi ikhtiar Marni tak tergoyahkan. Baginya, tugas manusia cukup berdoa dan berusaha. Selanjutnya kuasa Tuhan lagi yang berbicara kenapa  warung kecil itu bisa tersulap menjadi toko sembako yang penghasilannya bisa diperhitungkan.

Siapa yang tidak percaya jemari Tuhan apa bila sudah berkehendak. Manusia tinggal menadah tanpa menyerah. Usaha dan ikhtiar tiada akhir.

Suatu saat nanti akan ada lembaran kisah perjuangan agar menjadi motivasi. Kali ini Marni belum ingin bercerita mengenai perjuangannya. Masih ingin menikmati suasana atas pencapaiannya. Membersamai mimpi dan celoteh Mamak dalam ruangan megah.

Marni terlihat anggun, manis sekali. Polesan merah muda pada tulang pipi, bulu mata lentik dan warna bibir merah membuat Marni sedikit berbeda. Lebih cantik dari biasanya. Pada dasarnya memang sudah cantik. Kulitnya putih bersih. Hanya saja tampilannya yang sederhana membuat kecantikan itu tidak terlalu terlihat.

Mengenakan baju kebaya coklat muda dengan jilbab senada. Rok coklat tua senada dengan sepatu. Siapa yang memandang tak ada yang bisa berpaling.

“Mak, Marni sudah menggapai mimpi Mamak. Terima kasih atas semua celotehnya. Marni seperti ini tak lepas dari do’a Mamak. Bahkan Mamak bilang, kalau sudah menghadap Allah mungkin akan dengan mudah meminta. Dan kini aku tengah menikmati, Mak. Alfatihah Almarhumah Suti Karsinah.” (16/7) –  R

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *